Friday, November 6, 2015

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.

Jati diri Sunan Kudus

Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.

Nasab Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.[1]

Sunan Kudus dalam Babad Tanah Jawi

Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.” [2]
“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tidak ada yang dapat pergi.

Asal usul nama kota Kudus

Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk. Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak.
Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang.

Fakta mengenai Sunan Kudus

Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatnya.[3]
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya telah didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang menyucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara.[4]
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural).[5]

Pendidikan Sunan Kudus

Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang nampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK ingin menarik simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya, ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.

Dakwah Sunan Kudus

Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam ia yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus.[5]

Karya Sunan Kudus

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa KerjasanKota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Wafatnya Sunan Kudus

Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

Keturunan Sunan Kudus

Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.
Sumber : id.wikipedia.org

Asal usul Walisongo

Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
  • L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
  • van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
  • Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
  • Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabidoa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaumSufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
  • Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori keturunan Cina (Hui)

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Muslim.[6] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[butuh rujukan]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].

Sumber tertulis tentang Walisongo

  1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
  2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan di antaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
  3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Syekh Jumadil Qubro


Syekh Jumadil Qubro berasal dari SamarkandUzbekistanAsia Tengah. Ia diyakini sebagai keturunan ke-10 dari al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW

Petilasan

Petilasan-(maqam)-nya dilaporkan ada di beberapa tempat, yaitu di Semarang[1]Trowulan[2], dan di Dusun Turgo (dekat Plawangan, Kaliurang), Desa Purwobinangun,Kecamatan PakemKabupaten Sleman. Ia wafat dan di makamkan di Wajo, Makassar, Sulawesi Selatan.[butuh rujukan]

Syiar Islam

Pada awalnya, Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq, datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubroakhirnya ke Wajo, Makassar di mana ia wafat dan dimakamkan,[butuh rujukan] Maulana Malik Ibrahim ke Champa, di sebelah selatan Vietnam, yang kemudian mengislamkan Kerajaan Campa, sementara adiknya Maulana Ishaq pergi ke Aceh dan mengislamkan Samudra Pasai.

Turunan

Bila demikian, beberapa Walisongo, yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah buyutnya.Sunan Kudus adalah cicitnya (keturunan keempat). Jadi bisa dikatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek.

Hubungan dengan Laksamana Cheng Ho

Menurut catatan di Goa Batu, Semarang, tujuh dari sembilan para Walisongo adalah keluarga dan rekan Panglima Cheng Ho yang juga berasal Xin Kiang (Xinjiang), sekarang berada di wilayah Tiongkok.

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)


Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah[1], lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.

Orang tua

Ayah

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari GujaratIndia yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di HadramautYaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.

Ibu

Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )

Silsilah

  • Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin
  • Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
  • Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam bin
  • Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar al-Husaini
  • Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
  • Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin
  • Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin
  • Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
  • Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) bin
  • Sayyid Ali Kholi' Qosim bin
  • Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
  • Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
  • Sayyid Alawi Awwal bin
  • Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah bin
  • Ahmad al-Muhajir bin
  • Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin
  • Sayyid Muhammad An-Naqib bin
  • Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
  • Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin
  • Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
  • Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin
  • Al-Imam Sayyidina Hussain
  • Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad

Silsilah dari Raja Pajajaran

  • Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
  • Rara Santang (Syarifah Muda'im)
  • Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II
  • Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)
  • Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I
  • Prabu Linggabuanawisesa @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)

Pertemuan orang tuanya

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali diMesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibu dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Datuk Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang, kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayah dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Riwayat hidup

Proses belajar

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan

Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkatTubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum ia wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Sunan Muria


Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngandung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota KudusJawa Tengah, tempat dia dimakamkan.

Paket Ziarah Wali 9


Tujuan :

  • Sunan Ampel : R.Rahmat Rahmatullah (Surabaya)
  • Sunan Giri : Raden Paku/Samudra (Gresik)
  • Maulana Malik Ibrahim (Gresik)
  • Sunan Derajat : Maqdum Ibrahim (Paciran)
  • Maulana Ibrahim Asmoro Qondi (Tuban)
  • Sunan Bonang (Gresik)
  • Sunan Muria (Jateng)
  • Sunan Qudus : Ja’far Shodiq (Jateng)
  • Sunan Kalijogo Ngadilangu (Jateng)
  • Sunan Demak : Raden Patah (Jateng)
  • Sendang Kalimas Sodho (Ungaran)
  • Raden Hasan Munadi (Ungaran)
  • Sunan Gunung Jati : Fatahillah (Cirebon)
  • Masjid Istiqlal (Jakarta)
  • Masjid Kubah Mas (Depok)
  • Pemandian Air Panas Ciater (Bandung)
  • Pasar Baru (Bandung)
  • Panjalu (Ciamis)
  • Goa Pamijahan (Tasikmalaya)
  • Gunung Pring (Magelang)
  • Jabalkat (Klaten)

Keterangan :
  • Bis Baru Ac, Karaoke, dan Hiburan Lain
  • Dapat Camilan dan Aqua Botol
  • Berangkat : Tanggal 25 Desember 2015
Uang Pendaftaran Rp.100.000.- (Segera Daftar, Kursi Terbatas)
Nb: Setelah Membayar Uang Pendaftaran Sebesar Rp.100.000
Selanjutnya Hanya Perlu Membayar Rp.400.000
(Kalau Solar Naik Rp550.000)


Copyright © 2014 Wisata Religi Wali Songo